Surat Warga Maba Sangaji sebagai Peristiwa Politik
Ini bukan testimoni. Membacanya berarti menyimak politik yang hidup, yang tumbuh dari tanah, dan secara aktif menggambar peta kekuasaan dengan tangannya sendiri.
Saya membaca surat-surat dari warga Maba Sangaji, Halmahera, yang sedang ditahan di Polda Maluku Utara. Saya membacanya berkali-kali. Memang sudah seharusnya dibaca berkali-kali.
Jelas surat-surat itu bukan testimoni. Membacanya berarti menyimak politik yang hidup, yang tumbuh dari tanah, dan secara aktif menggambar peta kekuasaan dengan tangannya sendiri.
Di republik ini, tanah bisa punya sertifikat, tapi tubuh manusia tidak. Negara hanya mengenali apa yang bisa dicatat, dibayar, dan dimasukkan ke tabel proyek. Karena itu, ketika warga Maba-Sangaji bicara tentang sungai yang dulu bisa diminum, tentang tanah yang kini jadi lokasi tambang, tentang air merah dan tubuh yang dipukul, banyak pejabat yang tak mengerti. Karena yang mereka sampaikan bukan data, tapi kehidupan.
Tapi justru di situlah politik terjadi.
Dalam filsafat politik kontemporer, Jacques Rancière menyebut bahwa politik dimulai ketika mereka yang selama ini dianggap "tidak punya suara" menyatakan diri sebagai subjek yang setara, bukan dengan izin lembaga politik, tapi dengan tindakan yang merusak urutan kekuasaan. Surat-surat dari tahanan Maba-Sangaji adalah momen itu. Mereka tidak sedang mengemis pengampunan. Mereka sedang mengganggu tatanan. Menyatakan bahwa kehidupan mereka tidak bisa ditakar dengan logika properti, tapi warisan hidup yang tak bisa diganti.
Itulah kenapa negara panik. Karena dalam sistem ini, hanya yang tunduk yang boleh bicara. Dan begitu yang dilabeli “masyarakat adat” bersuara dengan bahasa sendiri (bahasa luka, bahasa air keruh, bahasa cinta kepada cucu yang belum lahir) maka seluruh narasi pembangunan goyah. Tak ada lagi wajah netral bagi hukum, karena hukum ternyata datang bersama tameng, gas air mata, dan daftar pasal yang dibaca sambil menyeret tubuh.
Surat-surat ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan bukan sekadar dominasi fisik, tapi operasi penyusunan siapa yang layak bicara dan siapa yang dibungkam. Dan ketika para tahanan itu menulis: “kami tahu siapa yang kalian bela”, mereka telah menolak menjadi objek belas kasihan. Mereka memilih menjadi gangguan. Dan dalam gangguan itulah politik sejati hidup, politik yang tidak meminta tempat di meja, tapi membalik meja itu.
Ada yang menyebut tindakan mereka radikal. Tapi seperti yang pernah dikatakan Achille Mbembe: yang lebih radikal dari perlawanan adalah sistem yang memaksa orang hidup tanpa masa depan. Apa yang lebih radikal dari menahan orang tua, merampas sungai, dan menyebutnya legal?
Maka ketika seorang lelaki tua berusia 82 tahun, Salasa Muhammad, menulis dari rutan bahwa ia tak ridha di dunia maupun akhirat, itu bukan hanya pernyataan iman, itu adalah deklarasi etis melawan yang sudah kehilangan keabsahan moral.
Kita bisa sebut ini episteme rakyat, ekologi pengetahuan tandingan, atau politik dari bawah. Tapi tak perlu rumit. Cukup bilang begini:
Mereka bicara. Mereka tak minta izin. Dan kita yang membaca, mau ngapain?
====
Kalian bisa membaca surat-surat tersebut DI SINI.